Indonesia bisa dibilang sebagai salah satu negara di dunia yang sangat cinta terhadap sepak bola. Bahkan, striker naturalisasi Alberto Goncalves menyebut gairah Indonesia terhadap sepak bola sama seperti negara asalnya, Brasil.
Meski begitu, Indonesia tidak seperti Brasil yang pemainnya gemar ke luar negeri untuk mengejar prestasi setinggi mungkin. Pesepak bola Indonesia cenderung nyaman berkarier di negara sendiri.
Saat ini, hanya tiga pemain dari Indonesia yang berkarier di negeri orang, yakni Yanto Basna (PT Prachuap FC/Thailand), Egy Maulana Vikri (Lechia Gdansk/Polandia), dan Witan Sulaeman (FK Radnik Surdulica/Serbia).
Terkait fenomena tersebut, Simon McMenemy turut memberikan pendapat. Menurut mantan pelatih Timnas Indonesia, ada tiga sebab utama mengapa pemain Indonesia ‘malas’ untuk pergi ke luar negeri.
Pertama, gaji para pemain di Liga Indonesia sudah cukup tinggi, kedua struktur kompetisi di Tanah Air sudah bagus, dan ketiga pertandingan sangat menarik karena selalu ramai penonton.
Bagi Simon, faktor-faktor tersebut diyakini membuat para pemain sepak bola Indonesia terlalu nyaman hingga akhirnya kehilangan dorongan untuk mencari tantangan ke luar negeri.
“Saya rasa ada persoalan budaya di sepak bola Indonesia. Karena pemain bayarannya bagus. Stuktur liganya bagus. Bahkan pertandingan juga menarik, banyak penonton. Kamu bisa terlihat seperti pahlawan,” kata Simon di YouTube Bang Bes.
“Jadi, tidak mendesak pemain untuk bermain keluar dari zona nyaman dan bermain di negara lain lalu mendorong diri mereka. Semua ada untuk mereka di rumah (Indonesia). Apalagi kamu bermain di depan banyak orang,” lanjutnya.
Selain itu, prioritas pesepak Indonesia bukan yang muluk-muluk seperti ingin bermain di Liga Inggris atau memenangkan Ballon d’Or, tetapi keluarga. Sehingga jika sudah bisa membantu keluarga berarti sudah cukup, tidak ada motivasi untuk mendapat lebih banyak hal lagi dari sepak bola.
Simon sediri mengetahui hal itu karena pernah membuat semacam tes mengenai motivasi pemain muda Indonesia. Hampir semua pemain yang mengikuti tes tersebut menjadikan keluarga di puncak tujuan.
Meski begitu, mantan pelatih Timnas Filipina ini tidak menyalahkan kurang ambisiusnya pemain Indonesia. Sebab, Simon merasa itu sudah menjadi sebuah budaya Indonesia.
“Ketika sata bekerja di Nike saat masih di Filipina, kami membuat semacam akademi di Jakarta. Waktu itu Indonesia dibanned dari kompetisi internasional. Kami bangun akademi dengan pemain U-16/17 terbaik saat itu. Mereka berlatih 4-5 kali seminggu di Sawangan,” kata Simon.
“Lalu kami mengundang psikolog bahas soal motivasi ketika sedang tidak latihan. Lalu kami tes, ada tumpukan majalah, mereka potong dari majalah itu lalu ditempelkan di papan, untuk melihat kira-kira apa yang sepak bola bisa berikan pada mereka. Apakah itu uang, popularitas, perempuan, rumah, speedboat, Lamporghini, dan apapun itu,” lanjutnya.
“Papan itu seakan seperti sebuah papan dengan impian apa yang sepak bola berikan padamu. Menariknya, hampir semua pemain, bahkan yang 16 tahun, nomor satu yang paling mereka inginkan adalah untuk bisa membantu keluarga. Itu nomor satu di hampir setiap papan,” ujar pelatih 42 tahun itu.
“Tidak ada yang bilang ingin menjadi pemain terbaik dunia, menang Ballon d’Or, main di Liga Inggris, atau menjadi miliuner. Nomor satu adalah membantu keluarga. Itu adalah budaya, bukan hal yang individual sulit atau hal negatif,” imbuhnya.