Liga Kamboja patut dibahas setelah perwakilan mereka di Piala AFC 2022, Vishaka FC, membantai Bali United. Sudah sejauh apa kompetisi negara itu berkembang?
Pecinta sepak bola Indonesia dikejutkan dengan kemenangan Vishaka FC atas Bali United di Stadion I Wayan Dipta, Bali, Senin (27/6/2022). Tak tanggung-tanggung, skornya 5-2.
Padahal Bali United unggul lebih dulu pada pertandingan tersebut. Namun, Vishaka FC mampu bangkit dan bahkan meraih kemenangan dengan skor cukup besar.
Apakah kemenangan Vishaka FC ini bisa dianggap keberuntungan?
Jika melihat apa yang dilakukan Federasi Sepak Bola Kamboja (FFC) dalam setahun terakhir, seharusnya jawabannya adalah tidak.
Liga Kamboja Profesional Pertama Dimulai pada 2005
Liga Kamboja telah berdiri sejak 1982. Namun, menurut media Kamboja, Khmernights, kompetisi yang profesional baru dimulai pada 2005.
Setelah sempat vakum pada dua tahun, Kamboja bangkit pada 2005 secara profesional dengan perusahaan telekomunikasi Metfone sebagai sponsor utama.
Selama 17 tahun bersama Metfone, standar profesionalitas meningkat. Klub-klub juga mulai mendapat sponsor dari perusahaan ternama.
Berkat itu, munculah klub juara Liga Kamboja sebanyak tujuh kali, Phnom Penh Crown.
Kemudian, klub-klub yang mendapatkan sponsor dari perusahaan ternama seperti Nagaworld, SMART, Cambodian Airways, dan the Prince Group, membuat mereka memiliki cukup uang untuk mendatangkan pemain-pemain asing, meski bukan nama besar.
Namun, Khmernights menganggap Liga Kamboja belum sepenuhnya profesional karena masih diikuti tim seperti lectricité du Cambodge FC (EDCFC) dan klub dari pihak Kepolisian Nasional.
Liga Kamboja pun dianggap gagal memberikan tontonan yang menarik. Efek untuk tim nasional juga tidak begitu besar karena Kamboja masih berkutat di urutan 174 dunia.
Inovasi Besar Dimulai pada Akhir 2021
FFC membuat langkah besar terhadap kemajuan Liga Kamboja. Pada Oktober 2021, FFC membuat perusahaan khusus menangani kompetisi, yakni Cambodian Football League Company (CFLC).
Ini bisa menjadi titik balik sepak bola Kamboja. Jadi, mulai musim 2022, Liga Kamboja tak lagi dikelola oleh FC, tetapi oleh CFLC.
CFLC ini sama dengan PT LIB (Liga Indonesia Baru), tapi orang-orang di dalamnya yang berbeda. CLFC diisi oleh orang expert dalam sepak bola.
CEO CFLC adalah Satoshi Saito. Dia pernah bekerja sebagai manajer pamasaran FC Barcelona, direktur misi khusus Federasi Sepak Bola Jepang (JFA), Direktur Pemasaran FC, dan konsultan pemasaran FIFA.
Bagaimana? Cukup mentereng bukan CV-nya. Dia benar-benar orang sepak bola dengan pengalaman di level atas sepak bola.
Direktur PT LIB adalah Akhmad Hadian Lukita. berdasarkan informasi yang diungah Divusi, ia berpengalaman lebih dari 15 tahun dalam berbagai bidang, termasuk bidang olahraga.
Beberapa pengalamannya beberapa di antaranya adalah Penelitian/Konsultan IT, Telekomunikasi, Manajemen, Pengembangan Bisnis, Enterprise Architecture, dan Energi.
Tentu Akhmad Hadian paham banget sepak bola karena beliau tetap mampu menjalankan Liga 1, Liga 2, dan Liga 3 di tengah pandemi.
Hanya saja, levelnya tentu berbeda apabila dibandingkan dengan Satoshi Saito.
Apa Perubahan yang Dilakukan Satoshi Saito?
Proyek Satoshi Saito dimulai tahun ini, dengan membuat beberapa gebrakan. Nama Metfone C-League diganti menjadi Cambodia Premier League (CPL).
Klub peserta juga dipangkas, tak lagi 13 tim, tetapi delapan tim. Kemudian, akan ada divisi dua yang diikuti 12 tim.
Klub yang bisa ikut di Cambodia Premier League (CPL), klub harus memenuhi berbagai kriteria seperti status hukum, solvabilitas, keuangan, infrastruktur, dan kualitas stadion.
Satoshi Saito memberikan standar penilaian minimal 70 untuk bisa lolos dari syarat-syarat tersebut.
“Klub harus mencapai skor dasar 70, yang dinilai berdasarkan berbagai kriteria,” kata Satoshi Saito.
Saat ini, stadion-stadion Kamboja banyak yang kekurangan lampu sorot. Satoshi Saito pun mengakalinya dengan memperbanyak pertadingan di sore hari.
Aturan-aturan baru ini juga akan diterapkan pada calon tim promosi tahun depan. Jika ada klub yang promosi, tetapi tidak memenuhi berbagai persyaratan, maka klub itu tak akan bisa tampil di Cambodia Premier League (CPL).
Sementara itu, Satoshi Saito juga menerapkan regulasi agar setiap klub juga harus memainkan dua pemain U-23. Ini sempat mendapat protes dari pelatih klub-klub Kamboja.
Namun, Satoshi Saito menegaskan bahwa apa yang dilakukannya tak hanya demi kualitas kompetisi, tetapi juga membantu perkembangan tim nasional Kamboja.
Menurutnya, regulasi untuk memainkan dua pemain U-23 adalah yang terbaik untuk membantu perkembangan pemain muda sebagai pondasi masa depan tim nasional.
“Salah satu tugas utama kami adalah melihat peningkatan tim nasional dan pengembangan pemain muda,” Satoshi Saito.
“Kami mempelajari berbagai metode di liga lain dan merasa bahwa model ini bekerja paling baik dalam mengembangkan pemain untuk tim nasional,” imbuhnya.
Tekad Satoshi Saito menjadi Liga Kamboja sebagai liga terbaik di Asia Tenggara
Satoshi Saito akan berkiblat pada J-League (Liga Jepang) dalam pembangunan Liga Kamboja.
Kawabuchi Saburo, sosok dalam pengambengan Liga Jepang (J-League) pada 1990-an yang saat ini menjelma sebagai salah satu kompetisi terbaik di Asia.
Dan Kawabuchi Saburo adalah mentor dari Satoshi Saito.
“Sebelum J.League dibuat, sepak bola Jepang adalah salah satu yang terburuk di Asia. Kami bahkan tidak bisa bersaing dengan Filipina atau Malaysia,” kata Satoshi Saito.
Satoshi Saito berencana membawa investor Jepang ke Kamboja. Dia optimis bisa membuat Cambodia Premier League sebagai liga terbaik di Asia Tenggara.
“Untuk Liga Kamboja, saya ingin menjadi liga profesional terbaik di Asia Tenggara,” Satoshi Saito.
Sepak bola bukanlah sulap. Tentu butuh proses untuk melihat sebuah perkembanagan. Langkah hebat sudah dibuat FFC dengan menyerahkan kompetisi ke orang yang profesional.
Jadi, tidak perlu kaget atau terkejut apabila klub Kamboja lebih sering mangalahkan klub Indonesia dalam beberapa tahun mendatang apabila PT LIB tak diisi orang-orang profesional level internasional.